Perkembangan kesenian bantengan di Kota Batu telah dimulai sejak
pada jaman perjuangan. Pada masa tersebut, para pemuda Kota Batu (yang masih
menjadi bagian Kadipeten Malang) banyak dikirim ke Pondok Pesantren untuk
mempelajari Ilmu Kanuragan Pencak Silat yang berpusat di daerah Jombang.
Seperti yang telah disebutkan diatas, erat kaitan kesenian
bantengan dengan Pencak Silat, maka setelah nyantri (mencari ilmu di Pondok
Pesantren) para pemuda Batu kembali kekampung halaman dan mendirikan padepokan
Pencak Silat. Untuk menarik para pemuda yang ada di perkampungannya mau
mempelajari Kanuragan Pencak Silat, maka dikembangkanlah kesenian Bantengan
dengan penokohan hewan Banteng yang liar sedang melawan Macan (Harimau).
Pada masa perjuangan melawan penjajah tersebut, penokohan ini
dilambangkan yaitu hewan Banteng yang hidup koloni (berkelompok) adalah lambang
Rakyat Jelata dan hewan Macan (Harimau) melambangkan Penjajah Belanda, serta
ada tokoh hewan Monyet yang suka menggoda Banteng dan Macan serta memprovokasi
keduanya untuk selalu bertarung. Monyetan ini melambangkan Provokator.
Sampai saat ini, kesenian Bantengan Batu (yang telah berotonommi
menjadi Kotamadya tersendiri lepas dari Kabupaten Malang) masih terus menjaga
eksistensinya. Bahkan pada perkembangannya di pelosok pelosok pedesaan,
kesenian Bantengan telah mampu berdiri sendiri diluar kelompok Padepokan Pencak
Silat.
Selanjutnya, kesenian Bantengan yang berkembang pesat di Batu ini
dibawa oleh salah satu tokoh pencak silat di daerah Bumiaji menuju wilayah
Pacet Mojokerto (karena letak dua wilayah yang berdekatan di lereng pegunungan
Arjuno-Welirang) dan dikembangkan kesenian ini sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar