Kamis, 01 November 2012

Menelusuri Hidup-Matinya Seni Bantengan




Hardjono WS

Konon, kabarnya Mojokerto memiliki cabang kesenian rakyat, namun sejak kelahirannya belum tersentuh dan digarap secara optimal sebagai identitas sebuah wilayah. Surabaya memiliki Remo; bandung memiliki Sisingaan; Palembang mempunyai Ririmau; Jakarta mempunyai ondel-ondel; Ponorogo memiliki Reyog; Banyuwangi mempunyai Gandrung; probolinggo memiliki Glipang; Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek memiliki jaranan. Sedangkan mojokerto memiliki apa? Maka jawaban dari pertanyaan itu tidak lagi menjadi wacana saja, tetapi sudah selangkah lebih maju menjadi pekerjaan rumah dan tanggung jawab bagi kita semua bahwa seni Bantengan merupakan kesenian khas sekaligus kebanggan dari Kabupaten Mojokerto. Sekaranglah waktu yang tepat khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Mojokerto untuk ikut andil mengangkat seni bantengan ini menjadi kebanggan Kabupaten Mojokerto sebagai jati diri kota yang berbudaya dan tercatat bentangan sejarah manusia.


Di Seputar Lahirnya Bantengan

Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi: pertama, berasal dari Batu. Menurut catatan yang bersifat tutur dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin yang berasal dari Batu. Ia seorang pendekar yang membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan mengembangkan seni ini di Pacet sampai sekarang.

Kedua, berasal dari Claket dan berkembang pesat di Pacet. Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket (baca: Surabaya Post, 1997).

Kedua versi itu terbilang sulit dilacak kebenarannya. Yang pasti daerah yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya. Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu di mana banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.

Pada awalnya Bantengan cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencak silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah tontonan. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini konon bermula dari Pacet atau Claket. Namun ada yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena daerah-daerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah Siran dari desa Claket, Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran terkenal sebagai pendekar pencak silat yang energik dan kharismatik. Sejak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi hutan. Dibawa pulang. Dibersihkan tengkoraknya. Kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang sudah tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung sebagai topeng Bantengan.

Dari Mbah Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas “kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu, dan tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik" (potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di tempat tertentu, Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai, hanya Bantengan saja yang dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah Cak Amir. Tak beda dengan kakek dan bapaknya, ia adalah seorang pendekar dan pemimpin sekaligus.

Secara filosofis, sebenarnya kota Pacet, sekitar 30 km dari kota Mojokerto ke arah selatan, sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping udaranya yang sejuk dan banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang kesenian rakyat bahkan sudah mentradisi sampai sekarang. Cabang kesenian ini sering pentas menghibur masyarakat dalam kegiatan hajatan, ruwatan desa, sunatan, pernikahan terutama untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Jenis kesenian ini amat digemari masyarakat kabupaten Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada kesetiaan dan kecintaan group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya dihargai dengan nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis. “Kesenian banteng adalah bagian dari hidup kami,” kata Cak Amir pemimpin Bantengan asal Claket Pacet mojokrto. Pak Amir mulai mencintai Bantengan sejak kanak-kanak. Jumlah grup Bantengan yang berada di wilayah kecamatan Pacet sampai sekarang ini diperkirakan 17 kelompok yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Made, Barakan, dan lain-lain.

Walhasil Bantengan ini menjadi cabang seni tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto belum pernah ada usaha mengangkatnya menjadi sebuah kebanggaan atau ikon bagi Kabupaten Mojokerto. Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius.

Seni Bantengan dalam Konteks Perjuangan

Setiap manusia mendambakan sebuah kemerdekaan, baik kemerdekaan individu maupun kemerdekaan sosial. Begitu juga masyarakat Mojokerto yang waktu itu dijajah Belanda. Kerena perjuangan masih belum dilakukan secara terorganisir, maka diupayakanlah cara-cara membangkitkan semangat terutama pemuda untuk sama melawan penjajah. Berdasarkan berbagai permusyawaratan, maka diputuskan memakai wadah silaturahim dalam pendidikan pencak silat. Melaui silat, tujuan menghimpun kembali wadah pergerakan perjuangan bisa tercapai. Di samping sebagai ajang kumpul-rembuk, pencak silat sebagai pendidikan olahraga merupakan dasar untuk menyusun kekuatan secara fisik. Setelah ditemukan wadah pergerakan, maka dicapai sebuah alat perjuangan berupa seni Bantengan. Banyak alasan mengapa Bantengan ini dipilih antara lain sebagai sarana merembuk rencana perjuangan, berlatih untuk perang, unsur sufisme di mana dalam memerankan rangkaian seni Bantengan (banteng, kera, harimau, jepaplok, manusia) selalu dibimbing dan dilatih untuk menyatukan (ngenjengno/ manunggaling kawulo lan Gusti) supaya bisa menyatukan diri dalam kesadaran berketuhanan dan berkemanusiaan.

Seni Bantengan dalam Konteks Olahraga

Akal yang sehat terletak pada badan yang sehat, demikian kata sebuah pepatah. Untuk dapat memainkan Bantengan perlu adanya pikiran yang sehat sehingga bisa mengendalikan permainan serta badan yang sehat agar gerak dan laku yang diperankan bisa sempurna. Ada dasar-dasar olahraga yang perlu dipersiapkan dalam olahraga yang penting dalam pola seni Bantengan ini antara lain: kaki yang kuat dalam kuda-kuda, kekekaran dan kesehatan tubuh, kelenturan gerak langkah, serta pernafasan yang panjang. Untuk memenuhi hal itu diperlukan latihan yang rutin. Olah raga yang membudaya waktu itu adalah seni bela diri masyarakat yakni pencak silat.

Seni Bantengan dalam Konteks Olah Hati

Jika kita mendalami budaya, maka banyak cara yang dilakukan oleh nenek moyang kita dalam mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara meditasi, semedi, tapa brata, yoga dan lain-lain yang intinya ingin mendapatkan kesempurnaan hidup sampai manunggaling kawula lan Gusti. Setiap manusia tentu ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Salah satu unsur kesempurnaan hidup adalah ketulus-ikhlasan kepada Tuhan. Sesungguhnya hampir semua agama mengajarkan cara ini, tentu dengan cara berbeda. Dalam dunia persilatan cara ini banyak dilakukan oleh perguruan modern maupun tradisional. Untuk memerankan peran dalam kelompok seni Bantengan tentu semua ingin berupaya melakonkan atau memainkannya dengan sempurna. Untuk melakukan dengan sempurna maka olah dan gerak nafas dapat dilakukan antara lain, konsentrasi memohon kepada Tuhan, menarik nafas panjang dilepas pelan-pelan sambil berdoa, dilakukan terus-menerus sampai mendapatkan langkah dan gerak yang hendak dimainkan. Dengan cara ini meskipun kebanyakan orang melihat kesurupan, tetapi pada dasarnya adalah permainan untuk mengecoh pengunjung agar puas serta sebagai alat perjuangan.

Seni Bantengan dalam Konteks Mistik

Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat keleman di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal-bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bebungaan).Dipersembahkan pada waktu punya hajat berupa sesajen di malam Jumat. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan dan minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi yang baunya semerbak menyengat. Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti. Akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni ini dapat dikabulkan oleh Tuhan.

Seni Bantengan dalam Konteks Hiburan

Pola dan gerak dalam seni Bantengan perlu diolah sedemikian rupa sehingga pengunjung betul-betul terhibur. Bagi pemain Bantengan yang kesurupan (meskipun dalam kepura-puraan) adalah inti dari pola permainan. Kalau belum bisa memainkan dengan kesurupan, maka permainan Bantengan belum dianggap sempurna. Bagi penonton, Bantengan adalah seni yang menarik tetapi manakala benar-benar kesurupan tentu hal ini amat menakutkan. Agar kedua pola ini dapat saling menguntungkan, maka sebaiknya dalam memerankan Bantengan dilakukan dengan managemen organisasi modern yang baik.

Komitmen Masyarakat Terhadap Seni Bantengan

Setelah melalui beberapa kegiatan koordinasi dengan berbagai komponen masyarakat, antara lain para seniman, budayawan, pegiat dan pemerhati seni Bantengan, agamawan, tokoh masyarakat serta berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta maka dapat dimaklumi bahwa keberadaan seni Bantengan adalah satu-satunya seni khas kabupaten Mojokerto yang dapat mengangkat citra positif bagi kabupaten Mojokerto.

Membaca Bantengan Saat Ini

Grup Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang, terdapat di daerah Gondang, Kutorejo, dan Tlagan. Bahkan menurut cerita tutur ada juga yang masih berkembang di Pandan, Wonosalam, serta di Dinoyo. Tetapi yang eksis sampai sekarang hanya di Pacet dan Claket. Tak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan milik Pacet (baca: Surabaya post, 1997, oleh Hardjono WS). Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet. Ini agak rumit diwacanakan. Mengapa hingga terjadi demikian?

Barangkali memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis masyarakat Batu dan Pacet amat mendukung dengan hutan dan gunungnya. Selanjutnya topeng Bantengan yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar, meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.

Seni Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang. Kedua pemain harus kompak. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh, layaknya pemain ganda bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy Meinaky. Teknik mereka memainkan Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.

Kendati sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori, menurut pemerhati Bantengan, memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya: langkah dua ekor banteng, laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan macan atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan (tabrakan) dengan macan.

Sekarang Bantengan pun tidak saja menggunakan banteng, tapi bisa melibatkan binatang-binatang lain penghuni hutan. Menurut cerita para pegiat Bantengan, banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan Wayang Purwo atau Wayang Kulit), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik penonton.

Tahun 1999, saya yang kebetulan pecinta seni tradisional ini melakukan eksperimen. Bantengan kita angkat bermain di sebuah hotel berbintang; hotel Sativa di Pacet, ketika ada pameran emas sedunia di Surabaya. Kebetulan penutupannya di hotel tersebut, tetapi dengan syarat: tidak boleh ndadi (ngamuk, in trance). Running time tidak boleh melebihi 25 menit. Setting (arena laga) hanya 5x5 meter. Pemain tidak boleh lebih dari 15 orang, termasuk pemain musik dan pendekarnya.

Biasanya kalau mereka main, pemainnya tak terbatas jumlahnya. Begitu juga tentang running time maupun setting, termasuk pengikutnya. Begitu juga dengan ndadi-nya. Pertunjukkan di hotel saat itu amat menarik pengunjung, dan baru merasa pertama kali inilah mereka nikmati. Mereka yakin bahwa Bantengan ini kesenian milik Pacet atau Mojokerto. Esensi Bantengan tetap tak berubah, seperti pertandingan tinju ditambahi dengan penari latar perempuan.

Menilik Masa Depan Bantengan

Sejelek-jeleknya ondel-ondel dan lenong, tak seorangpun warga kota yang tidak bangga memiliki warisan seni itu. Segala lapisan masyarakat ingin bersama-sama mengangkat kesenian ini menjadi sebuah ikon. Mulai dari abang becak sampai abang Ali Sadikin dan abang Sutiyoso, akademisi dan seniman sangat mencintai cabang seni ini. Ondel-ondel menjadi maskot kota Jakarta. Mengapa Mojokerto yang katanya awal berdirinya sebuah negeri besar dengan pandangan Nusantara ini tak mau mengangkat sebuah kesenian yang dipersembahkan oleh rakyat khusunya Pacet dan Claket menjadi sebuah ikon dan kebanggaan sebagaimana Reyog Ponorogo yang dikembangkan dan diangkat Bethara Katong, Bupati Ponorogo, adik Brawijaya raja Mojopahit. Meskipun Reyog ini awalnya dipersembahkan oleh rakyat setempat, pemerintah mempunyai tugas dan wewenang atas pemikiran serta usulan rakyat.

Bagaimana Ondel-ondel atau Reyog yang dianggap seni rakyat dan berselera rendah sebagaimana ludruk yang kini lebih bergengsi dan berwibawa. Sudah barang tentu pemerintah punya kewajiban. Tentang pakaian, musiknya, gerakan tarinya, dan filosofinya. Misalnya, Bantengan tidak perlu melawan banteng karena banteng secara filosofis sebagai lambang kebangsaan kita. Banteng mungkin melawan harimau atau macan (seperti lukisan Raden Saleh tentang banteng melawan harimau) sebagai simbol bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Atau banteng melawan ular naga (simbol dari angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga sendiri pasti lebih artistik dan atraktif.

Pakaiannya barangkali bisa lebih digarap lagi supaya warna hitam (tubuh banteng) yang dominan adalah warna dasar yang akan lebih hidup. Ketika uborampe-nya digarap mulai dari topeng, tubuh banteng dengan ornamen warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng, tubuh banteng serta pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih menarik lagi (warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak perlu mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari gendang, jidor, gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi serta ritme yang diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau toh ada pembenahan bisa ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak mengurangi esensi gamelan atau musik, misalnya terbang atau ceng-ceng (dari Bali) karena Mojopahit dan Bali masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit gamelan yang rancak dan atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro (kebanyakan musik atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur).

Walakhir, sejauh mana perkembangan seni Bantengan ini bisa bertahan di bawah bayang-bayang hiburan lain yang lebih modern merupakan tanggung jawab kita bersama. Segala upaya pemberdayaan perlu dipikirkan lebih matang. Generasi pecinta Bantengan perlu digalakkan. Pun adanya riset serius. Setidaknya, tulisan ini dapat membentangkan secuplik lanskap di mana seni ini di ambang antara hidup dan mati, untuk tidak mengatakan telah punah. Semoga, bagi siapa pun, ada yang tergerak untuk melakukan “sesuatu” bagi tumbuh-bangkitnya seni adiluhung ini. Amin!

-----
*Hardjono WS, pemerhati Bantengan dan sastrawan, tinggal di Jatidukuh,Kecamatan Gondang, Kabupaten  Mojokerto.

1 komentar:

  1. pak boleh minta alamat emailnya ?
    saya ingin lebih banyak sharing" dengan bapak :)
    terima kasih
    ika.wulan27@gmail.com

    BalasHapus