Hardjono
WS
Konon, kabarnya Mojokerto memiliki
cabang kesenian rakyat, namun sejak kelahirannya belum tersentuh dan digarap
secara optimal sebagai identitas sebuah wilayah. Surabaya memiliki Remo;
bandung memiliki Sisingaan; Palembang mempunyai Ririmau; Jakarta mempunyai
ondel-ondel; Ponorogo memiliki Reyog; Banyuwangi mempunyai Gandrung;
probolinggo memiliki Glipang; Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek memiliki
jaranan. Sedangkan mojokerto memiliki apa? Maka jawaban dari pertanyaan itu
tidak lagi menjadi wacana saja, tetapi sudah selangkah lebih maju menjadi
pekerjaan rumah dan tanggung jawab bagi kita semua bahwa seni Bantengan merupakan
kesenian khas sekaligus kebanggan dari Kabupaten Mojokerto. Sekaranglah waktu
yang tepat khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Mojokerto untuk ikut andil
mengangkat seni bantengan ini menjadi kebanggan Kabupaten Mojokerto sebagai
jati diri kota yang berbudaya dan tercatat bentangan sejarah manusia.
Di Seputar Lahirnya Bantengan
Lahirnya kesenian bantengan ada dua
versi: pertama, berasal dari Batu. Menurut catatan yang bersifat tutur dimulai
dari seorang tua bernama Pak Saimin yang berasal dari Batu. Ia seorang pendekar
yang membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi)
dari Pacet dan mengembangkan seni ini di Pacet sampai sekarang.
Kedua,
berasal dari Claket dan berkembang pesat di Pacet. Berasal dari Pacet. Menurut
cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan
ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai
sekarang di Pacet dan Claket (baca: Surabaya Post, 1997).
Kedua versi
itu terbilang sulit dilacak kebenarannya. Yang pasti daerah yang terus
melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival
Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara
swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya. Kedua versi itu masuk akal
kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu di mana banyak terdiri dari
hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.
Pada awalnya
Bantengan cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencak silat. Akhirnya
Bantengan menjadi sebuah tontonan. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak
silat, tapi kalau memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan.
Asal-usul Bantengan ini konon bermula dari Pacet atau Claket. Namun ada yang
mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena
daerah-daerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni
banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian
tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah
Siran dari desa Claket, Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah
Siran terkenal sebagai pendekar pencak silat yang energik dan kharismatik.
Sejak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi hutan.
Dibawa pulang. Dibersihkan tengkoraknya. Kalau kepala menjangan untuk hiasan
rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala menjangan sebagai
lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng yang terkesan gagah
dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang
sudah tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung
sebagai topeng Bantengan.
Dari Mbah
Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan
pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas
“kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu, dan
tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah
ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik"
(potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu
menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di
tempat tertentu, Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau
diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai, hanya Bantengan saja yang
dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk
atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi
tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan
berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah
Cak Amir. Tak beda dengan kakek dan bapaknya, ia adalah seorang pendekar dan
pemimpin sekaligus.
Secara
filosofis, sebenarnya kota Pacet, sekitar 30 km dari kota Mojokerto ke arah
selatan, sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping udaranya yang sejuk dan
banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang kesenian rakyat bahkan
sudah mentradisi sampai sekarang. Cabang kesenian ini sering pentas menghibur
masyarakat dalam kegiatan hajatan, ruwatan desa, sunatan, pernikahan terutama
untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Jenis kesenian ini amat digemari
masyarakat kabupaten Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada kesetiaan
dan kecintaan group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya dihargai
dengan nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis. “Kesenian
banteng adalah bagian dari hidup kami,” kata Cak Amir pemimpin Bantengan asal
Claket Pacet mojokrto. Pak Amir mulai mencintai Bantengan sejak kanak-kanak.
Jumlah grup Bantengan yang berada di wilayah kecamatan Pacet sampai sekarang
ini diperkirakan 17 kelompok yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan,
Cempoko Limo, Made, Barakan, dan lain-lain.
Walhasil
Bantengan ini menjadi cabang seni tradisional yang amat digemari masyarakat,
meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto belum pernah ada usaha
mengangkatnya menjadi sebuah kebanggaan atau ikon bagi Kabupaten Mojokerto.
Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius.
Seni Bantengan dalam Konteks Perjuangan
Setiap
manusia mendambakan sebuah kemerdekaan, baik kemerdekaan individu maupun
kemerdekaan sosial. Begitu juga masyarakat Mojokerto yang waktu itu dijajah
Belanda. Kerena perjuangan masih belum dilakukan secara terorganisir, maka
diupayakanlah cara-cara membangkitkan semangat terutama pemuda untuk sama
melawan penjajah. Berdasarkan berbagai permusyawaratan, maka diputuskan memakai
wadah silaturahim dalam pendidikan pencak silat. Melaui silat, tujuan
menghimpun kembali wadah pergerakan perjuangan bisa tercapai. Di samping
sebagai ajang kumpul-rembuk, pencak silat sebagai pendidikan olahraga merupakan
dasar untuk menyusun kekuatan secara fisik. Setelah ditemukan wadah pergerakan,
maka dicapai sebuah alat perjuangan berupa seni Bantengan. Banyak alasan
mengapa Bantengan ini dipilih antara lain sebagai sarana merembuk rencana
perjuangan, berlatih untuk perang, unsur sufisme di mana dalam memerankan
rangkaian seni Bantengan (banteng, kera, harimau, jepaplok, manusia) selalu
dibimbing dan dilatih untuk menyatukan (ngenjengno/ manunggaling kawulo
lan Gusti) supaya bisa menyatukan diri dalam kesadaran berketuhanan dan
berkemanusiaan.
Seni
Bantengan dalam Konteks Olahraga
Akal yang
sehat terletak pada badan yang sehat, demikian kata sebuah pepatah. Untuk dapat
memainkan Bantengan perlu adanya pikiran yang sehat sehingga bisa mengendalikan
permainan serta badan yang sehat agar gerak dan laku yang diperankan bisa sempurna.
Ada dasar-dasar olahraga yang perlu dipersiapkan dalam olahraga yang penting
dalam pola seni Bantengan ini antara lain: kaki yang kuat dalam kuda-kuda,
kekekaran dan kesehatan tubuh, kelenturan gerak langkah, serta pernafasan yang
panjang. Untuk memenuhi hal itu diperlukan latihan yang rutin. Olah raga yang
membudaya waktu itu adalah seni bela diri masyarakat yakni pencak silat.
Seni
Bantengan dalam Konteks Olah Hati
Jika kita
mendalami budaya, maka banyak cara yang dilakukan oleh nenek moyang kita dalam
mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara meditasi, semedi, tapa brata, yoga dan
lain-lain yang intinya ingin mendapatkan kesempurnaan hidup sampai manunggaling
kawula lan Gusti. Setiap manusia tentu ingin mendapatkan kesempurnaan
hidup. Salah satu unsur kesempurnaan hidup adalah ketulus-ikhlasan kepada
Tuhan. Sesungguhnya
hampir semua agama mengajarkan cara ini, tentu dengan cara berbeda. Dalam dunia
persilatan cara ini banyak dilakukan oleh perguruan modern maupun tradisional.
Untuk memerankan peran dalam kelompok seni Bantengan tentu semua ingin berupaya
melakonkan atau memainkannya dengan sempurna. Untuk melakukan dengan sempurna
maka olah dan gerak nafas dapat dilakukan antara lain, konsentrasi memohon
kepada Tuhan, menarik nafas panjang dilepas pelan-pelan sambil berdoa,
dilakukan terus-menerus sampai mendapatkan langkah dan gerak yang hendak
dimainkan. Dengan cara ini meskipun kebanyakan orang melihat kesurupan, tetapi
pada dasarnya adalah permainan untuk mengecoh pengunjung agar puas serta
sebagai alat perjuangan.
Seni
Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek
moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan
wangi-wangian. Contohnya pada saat keleman di sawah diberi sesaji yang
diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal-bakal yang di dalamnya ada unsur
wewangian (bebungaan).Dipersembahkan pada waktu punya hajat berupa sesajen di
malam Jumat. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah,
maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini
dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik.
Dengan menggunakan sarana kemenyan dan minyak wangi. Agar murah meriah biasanya
memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi yang baunya semerbak menyengat.
Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain
seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena
kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan
Gusti. Akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni ini dapat
dikabulkan oleh Tuhan.
Seni
Bantengan dalam Konteks Hiburan
Pola dan
gerak dalam seni Bantengan perlu diolah sedemikian rupa sehingga pengunjung
betul-betul terhibur. Bagi pemain Bantengan yang kesurupan (meskipun dalam
kepura-puraan) adalah inti dari pola permainan. Kalau belum bisa memainkan
dengan kesurupan, maka permainan Bantengan belum dianggap sempurna. Bagi penonton,
Bantengan adalah seni yang menarik tetapi manakala benar-benar kesurupan tentu
hal ini amat menakutkan. Agar kedua pola ini dapat saling menguntungkan, maka
sebaiknya dalam memerankan Bantengan dilakukan dengan managemen organisasi
modern yang baik.
Komitmen
Masyarakat Terhadap Seni Bantengan
Setelah
melalui beberapa kegiatan koordinasi dengan berbagai komponen masyarakat,
antara lain para seniman, budayawan, pegiat dan pemerhati seni Bantengan,
agamawan, tokoh masyarakat serta berbagai instansi baik pemerintah maupun
swasta maka dapat dimaklumi bahwa keberadaan seni Bantengan adalah satu-satunya
seni khas kabupaten Mojokerto yang dapat mengangkat citra positif bagi
kabupaten Mojokerto.
Membaca
Bantengan Saat Ini
Grup
Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu
sampai sekarang, terdapat di daerah Gondang, Kutorejo, dan Tlagan. Bahkan
menurut cerita tutur ada juga yang masih berkembang di Pandan, Wonosalam, serta
di Dinoyo. Tetapi yang eksis sampai sekarang hanya di Pacet dan Claket. Tak
salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan milik Pacet (baca:
Surabaya post, 1997, oleh Hardjono WS). Atau saling berebut antara kota Batu
dan Pacet. Ini agak rumit diwacanakan. Mengapa hingga terjadi demikian?
Barangkali
memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis masyarakat Batu dan
Pacet amat mendukung dengan hutan dan gunungnya. Selanjutnya topeng Bantengan
yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan dari
kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar, meskipun akhirnya banteng itu
punah dengan sendirinya.
Seni
Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi banteng. Pemain
depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng, dan kaki milik
pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh
banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng
dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang. Kedua pemain
harus kompak. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa,
satu karakter, satu roh, layaknya pemain ganda bulu tangkis Ricky Subagya dan
Rexy Meinaky. Teknik mereka memainkan Bantengan memang ada dasar-dasar
tertentu.
Kendati
sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas
“berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan
mereka. Kalau diuraikan secara teori, menurut pemerhati Bantengan, memang ada
gerakan-gerakan tertentu, misalnya: langkah dua ekor banteng, laku lombo
gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan
macan atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan
(tabrakan) dengan macan.
Sekarang
Bantengan pun tidak saja menggunakan banteng, tapi bisa melibatkan
binatang-binatang lain penghuni hutan. Menurut cerita para pegiat Bantengan,
banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan.
Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara,
karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan
Wayang Purwo atau Wayang Kulit), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah
menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan,
melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron
wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik penonton.
Tahun 1999, saya yang kebetulan
pecinta seni tradisional ini melakukan eksperimen. Bantengan kita angkat
bermain di sebuah hotel berbintang; hotel Sativa di Pacet, ketika ada pameran
emas sedunia di Surabaya. Kebetulan penutupannya di hotel tersebut, tetapi
dengan syarat: tidak boleh ndadi (ngamuk, in trance). Running
time tidak boleh melebihi 25 menit. Setting (arena laga) hanya 5x5 meter.
Pemain tidak boleh lebih dari 15 orang, termasuk pemain musik dan pendekarnya.
Biasanya kalau mereka main,
pemainnya tak terbatas jumlahnya. Begitu juga tentang running time maupun
setting, termasuk pengikutnya. Begitu juga dengan ndadi-nya. Pertunjukkan
di hotel saat itu amat menarik pengunjung, dan baru merasa pertama kali inilah
mereka nikmati. Mereka yakin bahwa Bantengan ini kesenian milik Pacet atau
Mojokerto. Esensi Bantengan tetap tak berubah, seperti pertandingan tinju
ditambahi dengan penari latar perempuan.
Menilik Masa Depan Bantengan
Sejelek-jeleknya ondel-ondel dan
lenong, tak seorangpun warga kota yang tidak bangga memiliki warisan seni itu.
Segala lapisan masyarakat ingin bersama-sama mengangkat kesenian ini menjadi
sebuah ikon. Mulai dari abang becak sampai abang Ali Sadikin dan abang
Sutiyoso, akademisi dan seniman sangat mencintai cabang seni ini. Ondel-ondel
menjadi maskot kota Jakarta. Mengapa Mojokerto yang katanya awal berdirinya
sebuah negeri besar dengan pandangan Nusantara ini tak mau mengangkat sebuah
kesenian yang dipersembahkan oleh rakyat khusunya Pacet dan Claket menjadi
sebuah ikon dan kebanggaan sebagaimana Reyog Ponorogo yang dikembangkan
dan diangkat Bethara Katong, Bupati Ponorogo, adik Brawijaya raja Mojopahit.
Meskipun Reyog ini awalnya dipersembahkan oleh rakyat setempat, pemerintah
mempunyai tugas dan wewenang atas pemikiran serta usulan rakyat.
Bagaimana Ondel-ondel atau Reyog
yang dianggap seni rakyat dan berselera rendah sebagaimana ludruk yang
kini lebih bergengsi dan berwibawa. Sudah barang tentu pemerintah punya
kewajiban. Tentang pakaian, musiknya, gerakan tarinya, dan filosofinya.
Misalnya, Bantengan tidak perlu melawan banteng karena banteng secara filosofis
sebagai lambang kebangsaan kita. Banteng mungkin melawan harimau atau macan
(seperti lukisan Raden Saleh tentang banteng melawan harimau) sebagai simbol
bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Atau banteng melawan ular naga (simbol
dari angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga
sendiri pasti lebih artistik dan atraktif.
Pakaiannya barangkali bisa lebih
digarap lagi supaya warna hitam (tubuh banteng) yang dominan adalah warna dasar
yang akan lebih hidup. Ketika uborampe-nya digarap mulai dari topeng,
tubuh banteng dengan ornamen warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng,
tubuh banteng serta pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih
menarik lagi (warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak
perlu mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari gendang,
jidor, gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi serta ritme
yang diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau toh ada pembenahan
bisa ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak mengurangi esensi gamelan atau
musik, misalnya terbang atau ceng-ceng (dari Bali) karena Mojopahit dan
Bali masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit gamelan yang rancak dan
atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro (kebanyakan musik
atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur).
Walakhir, sejauh mana perkembangan
seni Bantengan ini bisa bertahan di bawah bayang-bayang hiburan lain yang lebih
modern merupakan tanggung jawab kita bersama. Segala upaya pemberdayaan perlu
dipikirkan lebih matang. Generasi pecinta Bantengan perlu digalakkan. Pun
adanya riset serius. Setidaknya, tulisan ini dapat membentangkan secuplik
lanskap di mana seni ini di ambang antara hidup dan mati, untuk tidak
mengatakan telah punah. Semoga, bagi siapa pun, ada yang tergerak untuk
melakukan “sesuatu” bagi tumbuh-bangkitnya seni adiluhung ini. Amin!
-----
*Hardjono WS,
pemerhati Bantengan dan sastrawan, tinggal di Jatidukuh,Kecamatan Gondang,
Kabupaten Mojokerto.
pak boleh minta alamat emailnya ?
BalasHapussaya ingin lebih banyak sharing" dengan bapak :)
terima kasih
ika.wulan27@gmail.com